HOT INFO

Minggu, 06 Februari 2011

Holiday in Cambodia

KAMBOJA atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang beragama Islam dari keturunan muslim Cham.
 
Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.

Merdeka dari Perancis


Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan.


Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun 1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di parlemen.


Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.


Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.


Khmer Merah


Khmer Merah (Bahasa Perancis: Khmer Rouge) adalah cabang militer Partai Komunis Kampuchea (nama Kamboja kala itu). Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Khmer Merah melakukan perang gerilya melawan rezim Shihanouk dan Marsekal Lon Nol. Pada 17 April 1975, Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja.


Hanya dalam beberapa hari saja, rezim baru ini telah menghukum mati sejumlah besar rakyat Kamboja yang tadinya bergabung dengan rezim Lon Nol. Penduduk Phnom Phen dan juga penduduk di provinsi lain terpaksa keluar dari kota dan pindah ke daerah-daerah penampungan. Phnom Phen menjadi kota mati. Seluruh perekonomian di seluruh negeri berubah di bawah garis keras komunis, Uang hilang dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan wabah penyakit di daerah tersebut.


Selama 44 bulan berikutnya, jutaan orang Kamboja menjadi korban teror dari Khmer Merah. Para pengungsi yang berhasil lari ke Thailand menceritakan kekejaman kelompok ini yang antara lain menghukum mati anak-anak hanya karena mereka tidak lahir dari keluarga petani. Selain itu orang-orang keturunan Vietnam dan Cina juga turut diteror dan dibunuh. Siapa saja yang disangka sebagai orang yang berpendidikan, atau menjadi angota dari keluarga pedagang pasti dibunuh dengan cara dipukul sampai mati, bukan dengan ditembak dengan dalih untuk menghemat amunisi.


Killing Fields (Ladang Pembantaian)


Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer Merahnya berkuasa di Kamboja, adalah masa yang membuat seluruh dunia geger. Khmer Merah berupaya mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Maois dengan konsep agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka sebagai "Tahun Nol" (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos, dihentikan. Kamboja diputus hubungannya dengan luar negeri. Hukum Kamboja juga dihapuskan.


Rezim Khmer Merah dalam kurun waktu tersebut diperkirakan telah membantai sekitar dua juta orang Kamboja. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian" yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Di sini, sebagian besar korban yang dieksekusi adalah para intelektual dari Phnom Penh, yang di antaranya adalah: mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng.


Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School.


Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Khmer Merah, sekolah diubah menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik. Di “ladang pembantaian” ini, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi.


Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.
 

killing fields kamboja
 
Haing S Ngor yang masa itu berprofesi sebagai seorang dokter adalah segelintir intelektual yang berhasil lolos dari buruan rezim Khmer Merah. Haing dianugerahi Piala Oscar tahun 1984 atas perannya di film "The Killing Fields". Dalam film itu, ia memerankan tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang selamat dari pembantaian. Namun malang, Haing tewas terbunuh di kediamannya di Los Angeles, AS, ketika melawan perampokan yang dilakukan tiga pecandu narkoba pada 1996.


Intervensi Vietnam


Pada tanggal 25 Desember 1978, setelah beberapa pelanggaran terjadi di perbatasan antara Kamboja dan Vietnam, tentara Vietnam menginvasi Kamboja. Tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam menduduki Phnom Penh dan menggulingkan pemerintahan Pol Pot. Pemerintahan boneka lalu dibentuk di bawah pimpinan Heng Samrin, mantan anggota Khmer Merah yang telah membelot ke Vietnam. Namun pemerintahan baru ini tidak diakui oleh negara-negara Barat. Sementara Pol Pot dan para pengikutnya lari ke hutan-hutan dan kembali melakukan taktik gerilya dan teror. Pol Pot yang bernama asli Saloth Sar akhirnya meninggal di tengah hutan pada 15 April 1998 karena serangan jantung.


Menuju Perdamaian


Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi) yang masih bertahan di Kamboja yaitu Khmer Merah, dan Front kemerdekaan nasional, netral, kedamaian dan kerja sama Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Sihanouk, serta Front nasional kebebasan orang-orang Khmer yang dipimpin oleh perdana menteri yang terdahulu yaitu Son Sann, membentuk koalisi yang bertujuan untuk memaksa keluar tentara Vietnam. Tahun 1989, tentara Vietnam akhirnya mundur dari Kamboja.


Tahun 1992, PBB (UNTAC), mengambilalih sementara pemerintahan negara ini. Tahun berikutnya, PBB menggelar pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FUNCINPEC. Faksi ini kemudian membentuk pemerintahan koalisi bersama Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen.


Sekarang, Kamboja telah berkembang pesat berkat bantuan dari negara-negara asing. Negara ini bahkan telah menggelar persidangan terhadap seorang mantan pemimpin Khmer Merah atas dakwaan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Rakyat di kota dan desa juga telah hidup tenang walaupun dihantui bahaya ranjau darat yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru negeri.


Nyaris tiga dasawarsa berlalu sejak rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot digulingkan. Tetapi, sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia internasional. Tidak heran, bagi wisatawan yang singgah di Kamboja, lokasi-lokasi bekas peninggalan rezim Khmer Merah sangat diminati untuk disinggahi. Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta "ladang pembantaian" (killing field) Choeung Ek adalah dua dari segudang bukti kekejaman Pol Pot yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Benak langsung diselimuti kengerian dan kepedihan mendalam, ketika saya dan teman-teman wartawan dari Asia Pasifik menjejakkan kaki di Choeung Ek, awal April. Kami sengaja meluangkan waktu di sela-sela padatnya "Phnom Penh Interfaith Dialogue 2008" untuk mengetahui seperti apa wajah "ladang pembantaian" itu sesungguhnya. Choeung Ek adalah 'ladang pembantaian' yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh.

Ouch Kosal (27 tahun), pemandu wisata kami, menyebutkan ada sekitar 20.000 orang dieksekusi di situ. "Sebagian besar korban yang dieksekusi adalah dokter, pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan profesional lain," kata Kosal, lulusan Cambodia Mekong University. Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain.

Choeung Ek, yang awalnya lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas sekitar 2,5 hektare. Sebetulnya, "ladang pembantaian" Choeung Ek berada di sebuah lahan terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan penggalian kuburan massal, Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang pembantaian itu berada di lokasi seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol Pot pada 1979, ada 86 dari total 129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan di lokasi kuburan massal tersebut.

Cabikan pakaian korban pembantaian hingga kini masih tampak menyembul di sela-sela tanah. Rumput-rumput liar menyelimuti permukaan tanah yang dipenuhi cerukan-cerukan bekas kuburan. Serpihan tulang mudah ditemukan, bertebaran di seantero lahan. Pakaian para korban eksekusi yang lusuh dan lapuk dibiarkan teronggok di bawah pepohonan. Situasi memang tidak diubah agar pengunjung dapat menangkap atmosfer yang memilukan.


Pohon Ajaib tempat alat pengeras suara digantung dan dibunyikan keras- keras sehingga lolongan korban yang tengah dieksekusi tidak terdengar oleh masyarakat sekitar.


Foto-foto para tahanan di Penjara S-21 terpajang di deretan kamar-kamar penyiksaan.
Tuol Sleng

Dalam masa empat tahun berkuasanya rezim Khmer Merah, tidak kurang dua juta orang dari seantero Kamboja dibunuh. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian", seperti Choeung Ek tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Tetapi, Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Pasalnya, sebagian besar korban yang dieksekusi di sana adalah intelektual dari Phnom Penh. Contohnya, mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng.

Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School.

Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Pol Pot, sekolah diubah menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik.

Menurut sejumlah pengurus Museum Genosida Tuol Sleng, nyaris tidak ada yang berubah dari penjara itu. Bercak-bercak darah berwarna kecokelatan di dinding dan lantai kamar masih terlihat. Ranjang besi para tahanan dilengkapi rantai besi dan belenggu pergelangan kaki masih teronggok di tiap-tiap sel.

Di Tuol Sleng, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi.

Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.

Haing S Ngor, dokter medis Kamboja, adalah segelintir intelektual yang berhasil lolos dari buruan rezim Khmer Merah. Haing dianugerahi Piala Oscar berkat perannya di film "The Killing Fields". Dalam film itu, ia memerankan tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang selamat dari pembantaian. Dan, Haing tak kalah piawai beradu peran dengan Sam Waterston, pemeran Sidney Schanberg, wartawan New York Times yang mengabadikan kekejaman di sana. Sayang, Haing tewas terbunuh di kediamannya di Los Angeles ketika melawan perampokan yang dilakukan tiga pecandu narkoba pada 1996.


anak-anak juga menjadi korban

Dari kondisi tengkorak para korban, setidaknya bisa diketahui eksekusi dilakukan sangat brutal. "Eksekusi dilakukan tidak dengan ditembak atau cara-cara lain yang dapat menimbulkan kegaduhan. Korban secara berkelompok digiring ke pinggir lobang kuburan massal lalu dieksekusi dengan alat-alat pertanian, misalnya cangkul atau pacul, yang dihantamkan ke bagian kepala," tutur Kosal.

Musik diputar keras-keras dari megafon yang digantung di "pohon ajaib", untuk meredam lolongan kesakitan. Korban tidak bisa melarikan diri karena tangan dan kaki dibelenggu, sementara mata ditutup rapat.

Fakta pembantaian intelektual Kamboja terbilang mengherankan. Tidak kurang Donna Baker, diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia yang ikut bersama para wartawan ke Tuol Sleng dan Choeung Ek, juga mempertanyakan hal itu. "Di Rusia, yang juga negara komunis, para intelektual tetap diperkenankan hidup. Mengapa di Kamboja mereka semua dibantai? Apa karena mereka sebelumnya bekerja di bawah rezim Lon Nol?" kata Donna.


gambar mantan pemimpin khemer merah

Dari penyelidikan pascajatuhnya Pol Pot, yang bernama asli Saloth Sar, diyakini dia ingin mengembangkan komunisme ekstrem. Rezim Pol Pot ingin membangun segala sesuatunya dari awal. Maka, pada 17 April 1975, Kamboja diproklamasikan Pol Pot sebagai negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Pol Pot memproklamasikan 17 April 1975 sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.

Banyak tentara Khmer Merah akhirnya menyadari ada yang salah dari ideologi komunis ala Pol Pot. Mereka melarikan diri dari Kamboja dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan rezim brutal itu. Pol Pot jatuh di tangan tentaranya sendiri yang membelot ke Vietnam. 7 Januari 1979 adalah hari pembebasan dari cengkeraman rezim Khmer Merah. Banyak tentara Khmer Merah yang diperkenankan bergabung dengan pemerintahan Kamboja pasca Pol Pot. PM Hun Sen, misalnya, dulu adalah deputi komandan resimen Khmer Merah. Tetapi, ia kabur ke Vietnam pada 1977.

Penegakan hukum tetap diberlakukan ke sejumlah pemimpin papan atas Khmer Merah yang berwatak kriminal, khususnya Deuch yang bernama asli Kaing Khek Iev. Pada 1975-1979, Deuch menjabat sebagai Direktur S-21. Sejak 1999, Deuch mendekam di tahanan menanti persidangan atas pelanggaran HAM.

Harus diakui, menapaki jejak peninggalan rezim Khmer Merah sungguh tidak nyaman. Perut terasa mual. Tetapi, wisata ke Tuol Sleng dan "ladang pembantaian" Choeung Ek setidaknya bisa mengingatkan kita pada sejarah kebrutalan pada masa lalu, yang seharusnya tidak terulang kembali.


Sumber : http://www.asal-usul.com/2009/04/khmer-merah-lembar-sejarah-kelam.html
              http://www.ngobrolaja.com/showthread.php?t=14857

Tidak ada komentar:

Posting Komentar